Learning Objective :
1. Jelaskan karakteristik orthomyxoviridae?
2. Jelaskan patogenesis, gejala klinis, perubahan patologi dan diagnosa influenza beserta pencegahannya?
3. Bagaimana proses zoonosis influenza?
Pembahasan :
1. Jelaskan karakteristik orthomyxoviridae?
Strain virus penyebab influenza berasal dari family orthomyxoviridae. Tipe virusnya yaitu influensa A, B, C adalah virus yang mempunyai bentuk yang sama dibawah mikroskop elektron dan hanya berbeda dalam hal kekebalannya saja hal ini berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya. Ketiga tipe virus tersebut mempunyai RNA dengan sumbu protein dan permukaan virionnya diselubungi oleh semacam spikes (tonjolan) yang mengandung antigen haemagglutinin (H) dan enzim neuraminidase (N). Peranan haemaglutinin adalah sebagai alat melekat virion pada sel dan menyebabkan terjadinya aglutinasi sel darah merah, sedangkan enzim neurominidase bertanggung jawab terhadap elusi. Strain virus influenza yang ditemukan ada 16H dan 9N, tetapi yang membahayakan adalah strain H1, 2, dan 3, strain N1 dan 2 (Fenner,2011).
Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan tersegmentasi sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas negatif.
Penyebab swine influenza adalah virus influensa tipe A, virus ini erat kaitannya dengan penyebab equine influenza dan avian influenza (fowl plaque). Virus ini berdiameter sekitar 80-120 nm. Selain influensa A, terdapat influensa B dan C yang juga sudah dapat diisolasi dari babi.
Amplop yang merupakan derivate dari sel membrane lipid hospes terdiri dari protein viral yang glycosylated dan non glycosylated. Proyeksi permukaan dari glycoprotein membentuk tonjolan-tonjolan (spikes). Ada dua glycoprotein yang penting, yaitu hemaglutinin yang berikatan dengan sel reseptor dan neuraminidase activity, kedua-duanya terdapat di amplop. Nukleokapsidnya helical. Genomnya tersusun dari 6-8 segment, linear, negative-sense,dan merupakan virus kelompok ss-RNA. Replikasi dan transkripsi virus terjadi terjadi di dalam inti, pendewasaan melalui budding/ penguncupan membran plasma (Quinn, 2002).
Peranan haemagglutinin adalah sebagai alat melekat virion pada sel dan menyebabkan terjadinya aglutinasi sel darah merah, sedangkan enzim neurominidase bertanggung jawab terhadap elusi, terlepasnya virus dari sel darah merah dan juga mempunyai peranan dalam melepaskan virus dari sel yang terinfeksi. Antibodi terhadap haemaglutinin berperan dalam mencegah infeksi ulang oleh virus yang mengandung haemaglutinin yang sama. Antibodi juga terbentuk terhadap antigen neurominidase, tetapi tidak berperan dalam pencegahan infeksi.
Komposisi virion influenza terdiri dari 0,8-11% RNA, 70-75 % protein, 20-24% lemak dan 5-8 karbohidrat. Lemak berlokasi pada membran virus dan kebanyakan adalah phospolipid. Kolesterol dan glikolipid jumlahnya paling sedikit. Beberapa karbohidrat adalah ribose (pada RNA), galaktosa, monosa, fluktosa dan glukosamin. Glikoprotein atau glikolipia terutama terdapat dalam virion (Easterday et al., 1997).
Variasi antigenik virus Avian Influenza sangat tinggi, dan terjadi melalui 2 cara, yaitu drift dan shift. Drift antigenik terjadi dengan adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat minor pada antigen permukaan H dan atau N. Shift antigenik terjadi dengan adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat dominan pada antigen permukaan H dan /atau N. Virus pada unggas disimpulkan lebih jarang mengalami drift antigenik dibandingkan virus pada mamalia. Pengaturan kembali struktur genetik dari virus pada unggas dan mamalia diperkirakan merupakan mekanisme timbulnya strain ” baru ” virus pada menusia yang bersifat pandemik. Virus pada unggas dapat berperan pada perubahan struktur genetik virus Influenza pada manusia dengan menyumbangkan gen virus galur manusia (Tabbu, 2000).
Antigen HA bertanggung jawab dalam peletakan virion ke reseptor permukaan sel (sialiloligosakarida) dan dalam aktifitas hemoglutinasi dari virus enzim NA bertanggung jawab untuk pelepasan virus baru dari sel, melalui reaksinya terhadap asam neuraminit di reseptor (Tabbu, 2000).
Influensa babi yang terjadi di Amerika Serikat disebabkan oleh influensa A H1N1, sedangkan di banyak negara Eropa termasuk Inggris, Jepang dan Asia Tenggara disebabkan oleh influensa A H3N2. Banyak isolat babi H3N2 dari Eropa yang mempunyai hubungan antigenik sangat dekat dengan A/Port Chalmers/1/73 strain asal manusia. Peristiwa rekombinan dapat terjadi, seperti H1N2 yang dilaporkan di Jepang kemungkinan berasal dari rekombinasi H1N1 dan H3N2 (Hayashi et al, 1993).
Virus influensa tidak dapat tahan lebih dari 2 minggu di luar sel hidup kecuali pada kondisi dingin. Virus sangat sensitif terhadap panas, detergen, kekeringan dan desinfektan. Sangat sensitif terhadap pengenceran tinggi desinfektan mutakhir yang mengandung oxidising agents dan surfactants seperti Virkon.
Setiap tipe dari virus Influenza ditentukan oleh struktur antigenic protein nuklei dan matriks antigen, yang saling berhubungan erat di antara virus Influenza tertentu. Virus Influenza A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda, dan mamalia lain (cerpelai, anjing laut dan ikan paus). Virus Influenza B dan C hanya di temukan pada manusia. Virus Influenza yang termasuk tipe A subtipe H5, H7, dan H9. Virus H9N2 tidak menyebabkan penyakit berbahaya pada burung, tidak seperti H5 dan H7 (Tabbu, 2000).
Nukleoprotein virus Influenza berbentuk simetri helix dengan genom ssRNA linier polaritas minus 13,6 kb dengan 8 segmen yang menjadi 10 protein yaitu 5 berstruktur, 3 berkaitan dengan polimerase dan 2 tidak bestruktur. Transkripsi dan replikasi RNA berlangsung pada inti. Infeksi virus Avian influensa dapat bersifat asimtomatik atau menyebabkan penyakit yang ringan sampai penyakit yang mempunyai morbilitas dan mortalitas sebesar 100% (Fenner,2011).
Istilah fowl plaque kerap kali digunakan untuk menyatakan gejala klinik atau jenis virus yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Virus Influenza dengan antigen permukaan H5 atau H7 pada umumnya bersifat sangat patogenik. Virus Influenza tumbuh di dalam telur ayam bertunas umur 9 – 11 hari, di mana virus ini juga tumbuh pada kultur jaringan chicken embryo fibroblast (CEF) dan uji in vivo dapat dilakukan pada ayam, kalkun, itik (Tabbu, 2000).
2. Jelaskan patogenesis, gejala klinis, perubahan patologi dan diagnosa influenza beserta pencegahannya?
A) Patogenesis dan Perubahan Patologi
1. Swine Influenza
Patogenesis
Penyebaran virus influensa dari babi ke babi dapat melalui kontak moncong babi, melalui udara atau droplet. Penyakit ini dengan sangat cepat menyebar ke dalam kelompok ternak dalam waktu 1 minggu, umumnya penyakit ini dapat sembuh dengan cepat kecuali bila terjadi komplikasi dengan bronchopneumonia, akan berakibat pada kematian (Fenner et al., 1987).
Masa inkubasi antara 1-7 hari.
· 1-3 hari mulai dari yang ringan sampai yang akut. Pada kondisi akut akan terjadi perubahan di bronchus (saluran napas)
· 16 jam infeksi bronchus sudah mengalami necrosis (kematian pada jaringan).
· 24 jam kemudian infeksi lobus milai penuh dengan exudat (cairan)
· 72 jam sesudah infeksi virus sukar diidentifikasi.
· Bila tidak terjadi kematian pada hari ke-9 kondisi pulih kembali meski terjadi gangguan reproduksi serta gangguan produksi lainnya (Sitepoe, 2009).
Patologi
Lesi akibat infeksi sekunder dapat terjadi pada paru-paru karena aliran eksudat yang berlebihan dari bronkhi. Lesi ini akan hilang secara cepat tanpa meninggalkan adanya kerusakan. Kontradiksi ini berbeda dengan lesi pneumonia enzootica babi yang dapat bertahan lama. Pneumonia sekunder biasanya karena serbuan Pasteurella multocida, terjadi pada beberapa kasus dan merupakan penyebab kematian. Lesi terlihat meliputi kongesti pada mukosa farings, larings, trakhea dan bronkhus, pada saluran udara terdapat cairan tidak berwarna, berbusa, eksudat kental yang banyak sekali pada bronkhi diikuti dengan kolapsnya bagian paru-paru (Blood dan Radostitis, 1989).
Terlihat adanya lesi paru dengan tanda merah keunguan pada bagian lobus apikal dan lobus jantung, yang juga bisa terjadi pada lobus lainnya. Lesi lama biasanya terdepresi, merah muda keabu-abuan dan keras pada pemotongan. Pada sekitar atalektase paru-paru sering terjadi emphysema dan hemorhagis ptekhi. Lesi paru tersebut sama dengan lesi pada Enzootic pneumonia yang hanya bisa dibedakan dengan histopatologi (Blood dan Radostitis, 1989).
Pada pemeriksaan mikroskopik influensa babi, akan terdeteksi adanya necrotizing bronkhitis dan bronkhiolitis dengan eksudat yang dipenuhi netrofil seluler. Terjadi penebalan septa alveolar dan perubahan epithel bronchial. Bronchi dipenuhi dengan neutrophil yang kemudian dipenuhi sel mononukleal, pada akhirnya terjadi pneumonia intersisial lalu terjadi hiperplasia pada epithel bronchial. Pada beberapa kasus hanya terlihat kongesti. Adanya pembesaran dan edema pada limfoglandula dibagian servik dan mediastinal. Pada limpa sering terlihat pembesaran dan hiperemi yang hebat terlihat pada mukosa perut. Usus besar mengalami kongesti, bercak dan adanya eksudat kathar yang ringan (Blood dan Radostitis, 1989).
2. Avian Influenza
Patogenesitas virus Avian Influenza (AI) yang bersifat viserotropik dan pansistemik bervariasi dan menyebabkan gangguan saluran pernafasan ringan, murung, nafsu makan hilang, depresi dan diare. Virus Avian Influenza A bersifat tidak patogenik pada burung liar. Burung liar merupakan faktor penting dalam ekologi dari virus Avian Influenza (Tabbu, 2000).
Untuk unggas → patogenesis hampir sama, tetapi perbedaan terletak pada replikasi virus → pada unggas replikasi virus dapat terjadi pada saluran pernapasan dan pencernaan.
(Fenner, 2011)
Perubahan Patologi (makroskopis):
Bentuk Ringan. Pada sekum atau pada usus di temukan adanya enteritis kataralis sampai fibrinus. Pada ayam petelur ditemukan adanya eksudat di dalam oviduk. Sedangkan pada sinus mungkin di temukan adanya campuran atau salah satu eksudat kataralis, fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus. Trakea akan menunjukkan adanya edema yang disertai pembentukan eksudat yang bervariasi dari sereus sampai kaseus. Kantong udara mungkin menebal dan mengandung eksudat fibrinus atau kaseus. Pada peritonium mugkin ditemukan adanya peritonitis dan egg peritonitis (Anonim A,2011).
Bentuk Akut (HPAI). Pada sejumlah kasus HPAI dapat di temukan adanya kongesti, transudasi, nekrosis dan hemoragi. Berbagai subtipe virus Avian Influenza (H7N7, H5N1, H5N9 dan H5N2) dapat menimbulkan lesi pada stadium awal, yang meliputi edema pada kepala yang disertai oleh pembengkaan sinus; sianosis, kongesti dan hemorragik pada pial dan balung mungkin juga pada kaki. Jika penyakit ini melanjut, maka kerap kali akan di temukan adanya foki nekrotik pada hati, limpa, ginjal dan paru-paru (Anonim A,2011).
Perubahan makroskopis pada ayam terlihat oleh adanya pembengkaan pada pial dan balung, yang disertai oleh edema periorbitalis. Lesi pada balung dapat berbentuk vesikula sampai kebengkaan yang ekstensif dan sianosis;ekimosis dan sekosis. Kadang-kadang ditemukan adanya kebengkaan pada kaki, yang disertai oleh bintik perdarahan ekimosis. Lesi pada organ viseral meliputi petekie pada berbagai permukaan serosa dan mukosa, terutama mukosa dan proventrikulus dekat perbatasan dengan ventrikulus. Pangkreas menunjukan adanya daerah yang berwarna merah tua dan kuning muda. Perubahan makroskopis pada unggas sering kali diikuti oleh lesi yang ditimbulkan oleh bakteri, sehingga perubahan yang ditemukan mungkin merupakan akibat dari infeksi virus Avian Influenza (Anonim A,2011).
Perubahan mikroskopis:
Adanya lesi yang di timbulkan oleh fowl plaque di tandai oleh adanya edema, hiperima, hemorgik dan perivascular cuffing sel limfosid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak, balung dan dengan frekuansi yang lebih rendah pada hati dan ginjal. Perubahan degenerasi dan nekrosis dapat di temukan pada limpa, hati dan ginjal. Lesi pada otak meliputi foki nekrosis, perivasculer cuffing sel limfoid, gliosis, proliferasi pembuluh darah dan degenerasi/nekrosis neuron. Virus Avian Influenza yang sangat patogenik kerapkali menimbulkan nekrosis miokardium dan miokarditis (Anonim A,2011).
Perubahan histopatologik yang disebabkan oleh virus HPAI mempunyai sejumlah persamaan dan perbedaan dengan lesi yang ditimbulkan oleh fowl plaque. Perubahan histopatologik pada ayam yang terinfeksi secara alami dengan virus Avian Influenza subtipe H5N2 (tergolong virus HPAI) meliputi ensefalitis;miositis nekrotikan subakut yang bersifat sangat ringan sampai berat pada berbagai otot skelet, terutama otot okuler eksternal dan otot paha. Perubahan histopatologik biasanya lebih parah pada ayam pedaging di bandingkan dengan petelur (Anonim A,2011).
B) Gejala Klinis
1. Swine Influenza
Babi yang terinfeksi swine influenza ditandai dengan sangat lemah, enggan bergerak atau bangun karena gangguan kekakuan otot dan nyeri otot, eritema pada kulit, anoreksia,
demam sampai 41,8oC. Batuk sangat sering terjadi apabila penyakit cukup hebat, bersamaan
dengan muntah eksudat lendir, bersin, dispnu diikuti kemerahan pada mata dan terlihat adanya cairan mata. Biasanya sembuh secara tiba-tiba pada hari ke 5-7 setelah gejala klinis. Terjadi tingkat kematian tinggi pada anakanan babi yang dilahirkan dari induk babi yang tidak kebal dan terinfeksi pada waktu beberapa hari setelah dilahirkan. Tingkat kematian pada babi tua umumnya rendah, apabila tidak diikuti dengan komplikasi. Total kematian babi sangat rendah, biasanya kurang dari 1%. Bergantung pada infeksi yang mengikutinya, kematian dapat mencapai 1-4% (Anonim A,2011).
demam sampai 41,8oC. Batuk sangat sering terjadi apabila penyakit cukup hebat, bersamaan
dengan muntah eksudat lendir, bersin, dispnu diikuti kemerahan pada mata dan terlihat adanya cairan mata. Biasanya sembuh secara tiba-tiba pada hari ke 5-7 setelah gejala klinis. Terjadi tingkat kematian tinggi pada anakanan babi yang dilahirkan dari induk babi yang tidak kebal dan terinfeksi pada waktu beberapa hari setelah dilahirkan. Tingkat kematian pada babi tua umumnya rendah, apabila tidak diikuti dengan komplikasi. Total kematian babi sangat rendah, biasanya kurang dari 1%. Bergantung pada infeksi yang mengikutinya, kematian dapat mencapai 1-4% (Anonim A,2011).
Beberapa babi akan terlihat depresi dan terhambat pertumbuhannya. Anak-anak babi yang lahir dari induk yang terinfeksi pada saat bunting, akan terkena penyakit pada umur 2-5 hari setelah dilahirkan, sedangkan induk tetap memperlihatkan gejala klinis yang parah. Pada beberapa kelompok babi terinfeksi bisa bersifat subklinis dan hanya dapat dideteksi dengan sero konversi.(Anonim A,2011).
2. Avian Influenza
Morbiditas AI sangat tinggi, sebaliknya mortalitas hanya rendah . Pada AI yang disebabkan virus yang sangat patogenik, maka morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100%. Mortalitas biasa meningkat antara 10-50 X dari hari sebelumnya dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-7 setelah timbulnya gejala. Masa inkubasi beragam dari beberapa jam sampai beberapa hari dan tergantung pada dosis virus, virulesi galur, spesies unggas yang terserang dan rute kontak (Tabbu, 2000).
Gejala awal yaitu penurunan nafsu makan, emasiasi, penurunan produksi telur, gejala pernafasan seperti batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakemasi, bulu kusam, edema mata dan kaki, sianosis (kebiruan) pada daerah kulit yang tidak berbulu, gangguan saraf dan diare. Gejala tersebut dapat berdiri sendiri /kombinasi (Easterday et al., 1997).
Gejala klinik dari AI dapat di bedakan menjadi 2 bentuk. Bentuk pertama adalah bentuk ringan yang mengakibatkan lesu, ganguan pernafasan, batuk bersin, lakrimasi yang berlebihan, diare, kerontokan bulu, edema pada kepala dan muka, sianosis (kebiruan) pada daerah kulit yang tidak berbulu terutama pada jengger dan pial, gangguan saraf dan diare. Gejala ke 2 adalah bentuk akut oleh tipe Highly pathogenic avian influenza (HPAI) yang menyebabkan radang kantong hawa dan radang sinus dengan eksudat mengkeju. Ayam muda dapat tercekik karena sumbatan exsudat pada saluran pernafasan. Pada ayam bibit produksi telur turun secara cepat dan terjadi penurunan daya tetas, bentuk akut yang di tandai oleh perjalanan penyakit yang singkat dengan kematian yang tinggi dan mendadak tanpa di dahului oleh gelaja tertentu. Gejala terlihat dengan abnormalitas sistem respirasi, sistem pencernaan, sistem reproduksi dan sistem syaraf (Akoso, 1993 ; Easterday et al., 1997).
C) Dignosa
1. Swine Influenza
Diagnosis sementara terhadap penyakit influensa babi didasarkan pada gejala klinis dan perubahan patologi. Diagnosis laboratorium dapat berdasarkan isolasi virus pada alantois telur ayam berembrio dan dilihat hemaglutinasi pada cairan alantois. Spesimen yang paling baik untuk isolasi virus pada influensa babi adalah cairan hidung yang diambil sedini mungkin atau organ paru yang diperoleh dari bedah bangkai (Fenner et al.,1987).
Mendiagnosis influensa babi dengan metoda imunohistokimia dengan menggunakan antibodi
poliklonal dan monoklonal. Kualitas pengujian dengan antibodi monoklonal lebih konsisten Pada kasus penyakit influensa babi yang khronis, diagnosis dapat dilakukan secara serologi dengan memperlihatkan peningkatan antibodi pada serum ganda yang diambil dengan selang waktu 3-4 minggu. Untuk memeriksa antibodi terhadap virus influensa dapat digunakan uji
haemagglutination inhibition (HI) (Blood dan Radodtitis, 1989), Immunodifusi single radial
dan virus netralisasi. Kenaikan titer 4x lipatnya sudah dianggap adanya infeksi. Pada uji
serologis digunakan kedua antigen H1N1 dan H3N2 (Olsen et al., 2002).
poliklonal dan monoklonal. Kualitas pengujian dengan antibodi monoklonal lebih konsisten Pada kasus penyakit influensa babi yang khronis, diagnosis dapat dilakukan secara serologi dengan memperlihatkan peningkatan antibodi pada serum ganda yang diambil dengan selang waktu 3-4 minggu. Untuk memeriksa antibodi terhadap virus influensa dapat digunakan uji
haemagglutination inhibition (HI) (Blood dan Radodtitis, 1989), Immunodifusi single radial
dan virus netralisasi. Kenaikan titer 4x lipatnya sudah dianggap adanya infeksi. Pada uji
serologis digunakan kedua antigen H1N1 dan H3N2 (Olsen et al., 2002).
Virus dapat diisolasi dari swab hidung dan jaringan sampai 4 hari setelah infeksi tetapi tidak dari feses. Virus hanya dapat diisolasi dari serum yang diambil pada hari pertama setelah infeksi. Perubahan patologi pneumonia intersisial dapat dilihat sampai 21 hari setelah infeksi, lesi bronchi dan bronchus sampai 7 hari setelah infeksi dan limfoglandula mengalami
hemoragik.Sampel untuk isolasi virus dapat berasal dari swab hidung/ tonsil, trachea
dan paru-paru yang diambil 2-5 hari dari sejak munculnya gejala klinis. Semua sampel
disimpan dalam media transpor. Selain isolasi virus, diagnosis juga dapat dilakukan dengan
mendeteksi antigen dengan uji fluorescent antibody technique (FAT) pada sampel paruparu,
tetapi mempunyai kekurangan oleh karena lesi akibat virus sangat menyebar sehingga lesi dapat mendapatkan hasil sampel yang negatif dan sampel harus benar-benar segar dengan sedikit perubahan otolisis serta FA slide tidak dapat disimpan lama. Metode deteksi swine influenza virus (SIV) pada jaringan yang difiksasi dengan metode imunohistokimia yang menggunakan
antibodi monoklonal.
hemoragik.Sampel untuk isolasi virus dapat berasal dari swab hidung/ tonsil, trachea
dan paru-paru yang diambil 2-5 hari dari sejak munculnya gejala klinis. Semua sampel
disimpan dalam media transpor. Selain isolasi virus, diagnosis juga dapat dilakukan dengan
mendeteksi antigen dengan uji fluorescent antibody technique (FAT) pada sampel paruparu,
tetapi mempunyai kekurangan oleh karena lesi akibat virus sangat menyebar sehingga lesi dapat mendapatkan hasil sampel yang negatif dan sampel harus benar-benar segar dengan sedikit perubahan otolisis serta FA slide tidak dapat disimpan lama. Metode deteksi swine influenza virus (SIV) pada jaringan yang difiksasi dengan metode imunohistokimia yang menggunakan
antibodi monoklonal.
2. Avian Influenza
Dengan adanya gejala klinik dan perubahan patologik yang bervariasi, maka diagnosa definitif hanya di dasarkan atas isolasi dan identifikasi virus. Diagnosa sangkaan dapat di dasarkan atas riwayat kasus, gejala klinik, perubahan patologik dan tidak ada penyakit pernafasan lainnya. Isolasi virus dapat dilakukan pada telur ayam bertunas umur 10 - 11 hari menggunakan jaringan trakea dan atau kloaka dari unggas yang mati / hidup oleh karena virus Avian Influenza berreplikasi di dalam saluran respirasi dan atau pencernaan. Pemeriksaan serologik dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap virus Avian Influenza A yang dapat di amati pada hari ke-7 sampai ke-10 pasca-infeksi (Tabbu, 2000).
Uji indeks patogenitas intraserebrum dan indeks patogenitas intravena, masing-masing pada anak ayam umur satu hari dan ayam umur enam minggu bisa menentukan tingkat virulensi. Karena virulensi virus Avian Influenza sebagian besar terkait dengan kemampuan yang luas dari sel inang untuk menyibak hemaglutinin virus, terbentuknya plak pada tipe sel yang permisif bagi virus virulen tetapi tidak permisif bagi virus yang tidak virulen dapat juga digunakan untuk menilai virulensi (Easterday et al., 1997).
Isolasi virus hemaglutinasi dari jaringan yang terinfeksi dengan menggunakan embrio bebas patogen spesifik (SPF) atau dengan sistem kultur jarigan sel unggas dan virus AI dapat di identifikasi dan ditentukan serotifnya dengan teknik netralisasi serum virus dan prosedur seroimunologik (Anonim A,2011).
Pemeriksaan serologik yang sering di lakukan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuramidase (N). Uji serologik lain yaitu netralisasi virus (VN), neuromidase-inhibition (NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoklonal dan hibridisasi in situ. Pemeriksaan dengan teknik imunofluorescence langsung untuk mengetahui adanya virus Avian Influenza atau virus protein dari contoh jaringan kerapkali digunakan untuk melakukan diagnosa dengan cepat. Differensial Diagnosis :
1. ND
Gangguan pernafasan dan saraf. Cepat menular dan mortalitas tinggi. Tidak ada kebengkakan paha dan sianosis. Lumpuh.
2. Paramyxovirus
Kerabang pucat, fertile, gangguan pernafasan. Hanya pada kalkun.
3. infectious bronchitis
akut mudah menular, ngrok basah dan terengah-engah. Leleran hidung tinggi. Lesi hanya pada saluran pernafaan dan ginjal. Tidak ada bengkak.
4. swollen head syndrome
gangguan pernafasan. Daerah kepala (fascial dn intermandibular) bengkak. Mortalitas rendah.
5. avian mikoplasmosis
pathogenesis lambat. Ngorok basah dan batuk. Tidak lumpuh.(Tabbu, 2000).
D) Pencegahan
Pengendalian penyakit juga dapat dilakukan dengan memperbaiki sanitasi dan biosekuriti peternakan, yang termasuk hal tersebut adalah membatasi keluar masukya pekerja kandang, melakukan desinfektan terhadap alat-alat kandang dan kandang serta mengontrol yang akan masuk ke peternakan apakah terserang virus atau tidak (Anonim B, 2006)
Di daerah yang sumber dayanya kurang sehingga eradikasi terhalang, kawanan ayam dapat diimunisasi dengan menggunakan vaksin inaktif autogenous atau produk recombinant vector. Vaksinansi akan menekan timbulnya penyakit secara klinis, tetapi virusnya tetap hidup dan bertahan pada populasi unggas di daerah tertular (Anonim B, 2006).
3. Bagaimana proses zoonosis influenza?
Penularan virus Influenza antar spesies (ayam, manusia, babi)
a. virus Influenza A yang berbeda berdasarkan antigen permukaannya yaitu Hemaglutinin dan Neuromidase terdiri dari bermacam-macam strain. Masing-masing strain juga berbeda tingkat keganasan dan hospes yang diserangnya.
b. Virus yang menyerang unggas menyukai reseptor α2,3-sialoside-linked virus reseptor yang berada di jaringan hospes. Pada manusia, reseptor tersebut hanya terdapat pada saluran pernafasan dalam (bronchi, alveoli), dan tidak terdapat di saluran pernafasan luar. Oleh karena itu, manusia masih mungkin tertular Avian Influenza apabila virus sudah masuk ke saluran pernafasan dalam. Sedangkan babi dan unggas mempunyai reseptor tersebut pada saluran pernafasan dari luar ke dalam. Oleh karena itu, virus dapat ditularkan ke babi dengan cepat.
c. Virus yang menyerang mamalia menyukai reseptor α2,6-sialoside-linked virus reseptor yang berada di jaringan hospes. Pada manusia, reseptor tersebut terdapat di saluran pernafasan dari luar ke dalam. Pada unggas, reseptor tersebut dapat ditemukan pada saluran pernafasan bagian dalam. Sedangkan pada babi, reseptor tersebut terdapat di seluruh bagian saluran pernafasan dari luar ke dalam.
d. Oleh karena babi mempunyai reseptor untuk virus unggas maupun mamalia, maka di dalam tubuh babi dapat terjadi shift antigenic apabila 2 virus menginfeksi babi yang sama.
Daftar Pustaka
Akoso, B T. 1993. Manual kesehatan unggas, Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluhan dan Peternak. Cetakan 1. Penerbit Kanisius.Yogyakarta.
AnonimA.2011.http://creasoft.wordpress.com/category/keperawatankesehatanmasyarakatkebidanan/patologi/. Tanggal akses 17/05/2011
Anonim B.2006. Avian Influenza. htp://www.litbang.deepkes.go id/maskes/05. Tanggal akses 17/05/2011
Blood D.C. and O.M. Radostits, 1989. Swine Influenza. In "Veterinary Medicine". A Textbook of the disease of cattle, sheep, pigs, goats & horses, 7th ed. Bailliere Tindall, London, Philadelphia, Sydney, Tokyo, Toronto: 888-890.
Easterday B.C., V.S. Hinshaw and D.A.Halvorson, 1997. Influenza In Diseases of Poultry 10 th Edition.Lowa State University Press, Ames, Iowa, USA.p: 583- 605
Fenner F., P.A. Bachmann, E.P.J. Gibbs, F.A. Murphy, M.J. Studdert, and D.O. White, 1987.Veterinary Virology. Academic Press Inc. London Ltd., 473-484
Fenner F.J. et. al..1993.Virology Veteriner. San Diego. Academic Press, Inc
Hayashi k., T. Hashimoto, and Y. Mukohara, 1993. Outbreak of swine influenza due to H1N2 influenza virus in Nagasaki Prefecture. Journal of the Japan Vet. Med. Ass. 46, 6: 459-462.
Olsen C.W., L. Brammer, B.C. Easterday, N. Arden, E. Belay, I. Baker and N.J. COX,2002.Serologic Evidence of H1 Swine Influenza Virus Infection in Swine Farm Residents and Employees.Emerging Infectious Diseases. (8) 8: 814-819
Sitepoe, Mangku. 2009. Melawan Influenza A (H1N1). Jakarta : Grasindo
Tabbu, C. R. 2000.Penyakit Ayam dan Penanggulanganya Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral.Cetakan Pertama,Penerbit Kanisius.Yogyakarta.
Quinn,P J, and friends. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Singapore : Blackwell Science Publishing.
Share
0 komentar:
Posting Komentar