1. Learning Objective
2. Bagaimanakah respon imun hewan terhadap infeksi virus?
2. Pembahasan
1. Respon Imun Hewan Terhadap Infeksi Bakteri Intraselluler Dan Ekstraselluler
a. Bakteri ekstraseluler
1). Netralisasi toksin
Antibodi yang beredar berperan pada netralisasi molekul antifagositik yang larut dan eksotoksin yang dilepaskan bakteri. Pada bentuk kompleks dengan antibodi, toksin tidak dapat secara cepat hilang dan karenanya menjadi rentan terhadap fagositosis, terutama bila kompleks dapat diperbesar ukurannya oleh karena aksi dari autoantibodi yang menghasilkan ikatan IgG dan C3b (imunokonglutinin) (Roitt, 2003).
2). Opsonisasi bakteri
Opsonisasi tidak tergantung antibodi:
Protein pengikat manosa mengaktivkan C1r dan C1s yang juga berikatan dengan reseptor C1q, ikatan ini yang menjdi opsonin yang memperantari fagositosis. Serum pada protein yang berikatan dengan lipopolisakarida bakteri untuk membuat kompleks yang melekat pada makrofag CD14 dalam jumlah yang sangat sedikit untuk merangsang fagositosis TNF (Tumor Nekrosis Factor).
Opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi:
Efek antibodi yang telah melakukan opsonisasi dan komplemen tehadap kecepatan pembersihan bakteri virulen dari darah. Bakteri yang tidak terlapisi difagositosis lebih lambat(imunitas bawaan) tetapi bakteri yang dilapisi antibodi dan melekat pada fagosit berlipat jumlahnya(imunitas dapatan). Hal ini terjadi karena adanya sinergisme antibodi dan komplemen pada proses opsonisasi dengan perantara reseptor afinitas tinggi yang spesifik untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit (Roitt,2003).
b. Bakteri intraseluler
Imunitas spesifik yang dikendalikan sel T, karena dalam infeksi bakteri intraseluler ini yang berperan utama adalah imunitas seluler, contoknya pada bentuk lepramatous reaksi sel T lemah terhadap basilus utuh dan reaksi dermal lepromin lemah meskipun ditemukan banyak sel plasma sehingga didapatkan antibodi dalam jumlah tinggi dan menunjukan aktivitas Th2 (Roitt, 2003)
Kemampuan membunuh mikroba yang hidup intraseluler hanya terjadi bila sel dirangsang pada aktivasi tahap berikutnya oleh faktor yang mengaktifkan makrofag seperti IFNγ yang dihasilkan oleh sel T penghasil limfokin. Pelepasan limfokin yang terjadi kemudian mengaktifkan marofag dan memberikan kemampuan mematikan organisme yang telah difagositosis.
Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin, agar dapat mengekspresikan satu atau lebih di antara mediator-mediator tersebut untuk mengendalikan infeksi intraseluler.
Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin memegang peran penting dalam mengendalikan atau membunuh patogen intraseluler oleh fagosit, dalam pertahanan dini pejamu.
Makrofag yang telah diaktivasi interferon membunuh Legionella pneumophila, antara lain dengan cara meregulasi ke bawah (downregulate) reseptor transferrin, sehingga menurunkan kemampuan zat besi dalam sel yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Legionella spp. Efek listerisidal juga berkaitan dengan kadar zat besi dalam makrofag.
Defensin, protein yang sudah kodratnya bersifat antimikrobial (natural antimicrobial protein), merupakan peptida kationik kecil dengan aktivitas anti-bakteri luas. Terdapat 2 kelas, α dan β, berperan dalam pertahanan tubuh antara lain dengan cara mematahkan struktur atau fungsi membran sitoplasma mikroba. Biasanya defensin diinduksi oleh sitokin dalam respons terhadap infeksi atau inflamasi, interleukin-1β, interferon-γ, dan TNF-α. Defensin mempunyai aktivitas antimikrobial pada bakteri Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, Candida albicans, jamur serta virus bersampul (Roitt, 2003).
2. Respon Imun Hewan Terhadap Infeksi Virus
a. Antibodi menetralkan virus bebas dan terutama efektif bila virus harus bergerak dalam peredaran darah sebelum mencapai sasaran terakhir.
b. Bila sasaran sama dengan tempat masuknya bakteri, interferon sangat dominan dalam masa penyembuhan.
c. Antibodi (IgA) sangat penting dalam mencegah terjadinya reinfeksi.
d. Budding virus dapat mauk ke sel-sel disekitarnya tanpa terpapar antibodi diatasi dengan imunitas seluler. Sel yang terinfeksi menunjukkan antigen peptida yang telah diproses pada permukaan sehubungan dengan MHC kelas I, segera setelah masuknya virus dan kematian yang terjadi segera oleh sel T sitotoksik menghambat multiplikasi virus yang tergantung pada perangkat replikasi dari sel pejamu yang utuh. Sel NK juga bersifat sitotoksik.
e. Sel T dan makrofag menghasilkan IFN γ dan TNF yang membasahi sel terinfeksi dan mencegah penyebaran virus ke skitarnya (Roitt, 2003).
Mekanisme Penghindaran Bakteri Dan Virus Terhadap Respon Imun Hewan
a. Bakteri ekstraseluler
1) Menghindari fagositosis
Dengan membuat kapsul di lapisan luar yang tidak mudah menempel pada sel sel fagosit dan menutupi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang dapat dikenal oleh reseptor fagosit (Roitt,2003).
2) Menantang sistem komplemen
Pada permukaan bakteri tertentu yang kaya akan asam sialik mempunyai kesempatan untuk mengikat faktor H yang berperan sebagai fokus dalam degradasi C3b oleh faktor I oleh karena itu beberapa menunjukan motif berulang yang berkonsensus pendek yang mirip protein pengikat C4, reseptor komplemen CRI dan faktor yang mempercepat pembusukan dan juga bentuk menyerupai integrin CR3, mungkin karena bakteri menghasilkan enzim seperti C5a yang memegang peran penting dalam inflamasi akut (Roitt,2003).
3) Deviasi komplemen
Dengan mengalihkan lokasi aktivasi komplemen pada suatu protein samaran atau pada pemukaan bakteri jauh dari membran sel (Roitt,2003).
4) Resistensi terhadap penyisispan komponen terminal komplemen
Bakteri Gram + mempunyai lapisan tebal petidoglikan untuk mencegah penyisipan oleh kompleks C5b-9 pada membran yang bersifat litik kedalam membran sel bakteri (Roitt, 2003).
b. Bakteri Intraseluler
Beberapa stein bakteri seperti Listeria dan Brucella menghindarkan diri dari kekuatan sistem imun dengan mengembangkan kehidupan intraseluler didalam salah satu komponen sistem imun yaitu makrofag, yang setelah masuk mampu melumpuhkan mekanisme pembunuhan oleh makrofag.
Mycobacterium tuberculosis menghambat fusi lisosom dengan fakuol fagositik yang mengandung bakteri yang dicerna. Lipida micobacterium seperti liporabinomanna menghambat primming dan aktivasi makrofag dan melindungi bakteri dari serangan unsur oksigen reaktif pembersih seperti anion superoxida, radikal hidroksil, hidrogen peroxida. Listeria monocytogenes menggunakan lisin khusus untuk menghindar dari fagosom (Roitt, 2003).
c. Virus
Virus terus menerus merubah antigen permukaanya melalui antigenic drift antigenic shift. Misalnya saja pada virus infuensa yang permukaan virusnya mengandung hemaglutinin yang melekat pada sel sebelum terjadinya infeksi dan enzim neuroamidase yang melepas viorus yang baru terbentuk dari permukaan asam sialik sel yang terinfeksi. Perubahan kecil dalam antigenesitas hemaglutinin terjadi melaui point mutation dalam genom virus (drift), tetapi perubahan yang besar terjadi melalui pertukaran materi genetik dengan cadangan bermacam virus pada komponen imun yang lain (shift).
Penghambatan induksi melalui komplemen pada reaksi peradangan dan pembunuhan virus dapat berhasil dengan adanya produk virus vaccinia yang strukturnya mirip dengan protein pengikat C4b (Roitt, 2003).
Mekanisme Aktivasi Komplemen
Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui suatu proses enzimatik yang terjadi secara berantai, berarti produk yang timbul pada satu reaksi akan merupakan enzim untuk reaksi berikutnya (Baratawijaya, 2000). Caranya ialah dengan dilepaskannya sebagian atau mengubah bangunan kompleks protein tersebut (pro enzim) yang tidak aktif menjadi bentuk aktif (enzim). Satu molekul enzim yang aktif mampu mengakibatkan banyak molekul komplemen berikutnya. Cara kerja semacam ini disebut the one hit theory.
Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c) pengakhiran kerja berantai dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel (mekanisme terakhir ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran).
Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks antigen-antibodi, sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan adanya ikatan antara C3b dengan berbagai zat aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan memacu terbentuknya jalur serangan membran yang akan mengkibatkan lisisinya dinding sel antigen (Frank, 1991).
Sumber: http://www.inflarx.de/complement.html
Aktivasi komplemen jalur klasik
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.
1. Regulasi jalur klasik
Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.
2. Aktivitas C1 inhibitor
Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH (Brown, 1985).
3. Penghambatan C3 konvertase
Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa regulator.
a. C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3 konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini bersama dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan potensi faktor I dalam merusak C4b.
b. Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentulmya C4b2b (Frank, 1991).
Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM.
Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar 5-3 ) .
Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif.
Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.
Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran) (Frank, 1991).
Gambar 2. Hubungan antara aktivasi komplemen melalui jalur klasik dan alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2000. Imunologi Dasar. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Jakarta : Universitas Indonesia
Brown EJ, Joiner KA, Frank MM l985. Fundamental immunology 3rd edition. New York: Raven Press.
Frank MM 1991. Basic and clinical immunology; 7th edition. NorwaIk: Appleton & Lange.
Roitt, Ivan. 2003. Essential Immunology. Oxford: Blacwell Science Limited.