Respon Imun Pada Infeksi Bakterial Dan Viral

Kamis, 28 Juli 2011
1.      Learning Objective
1.      Bagaimanakah respon imun hewan terhadap infeksi bakteri intraselluler dan ekstraselluler?
2.      Bagaimanakah respon imun hewan terhadap infeksi virus?
2.      Pembahasan
1.      Respon Imun Hewan Terhadap Infeksi Bakteri Intraselluler Dan Ekstraselluler
a.      Bakteri ekstraseluler
1).        Netralisasi toksin
         Antibodi yang beredar berperan pada netralisasi molekul antifagositik yang larut dan eksotoksin yang dilepaskan bakteri. Pada bentuk kompleks dengan antibodi, toksin tidak dapat secara cepat hilang dan karenanya menjadi rentan terhadap fagositosis, terutama bila kompleks dapat diperbesar ukurannya oleh karena aksi dari autoantibodi yang menghasilkan ikatan IgG dan C3b (imunokonglutinin) (Roitt, 2003).
         2).        Opsonisasi bakteri
         Opsonisasi tidak tergantung antibodi:
                     Protein pengikat manosa mengaktivkan C1r dan C1s yang juga berikatan dengan reseptor C1q, ikatan ini yang menjdi opsonin yang memperantari fagositosis. Serum pada protein yang berikatan dengan lipopolisakarida bakteri untuk membuat kompleks yang melekat pada makrofag CD14 dalam jumlah yang sangat sedikit untuk merangsang fagositosis TNF (Tumor Nekrosis Factor).
Opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi:
Efek antibodi yang telah melakukan opsonisasi dan komplemen tehadap kecepatan pembersihan bakteri virulen dari darah. Bakteri yang tidak terlapisi difagositosis lebih lambat(imunitas bawaan) tetapi bakteri yang dilapisi antibodi dan melekat pada fagosit berlipat jumlahnya(imunitas dapatan). Hal ini terjadi karena adanya sinergisme antibodi dan komplemen pada proses opsonisasi dengan perantara reseptor afinitas tinggi yang spesifik untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit (Roitt,2003).
b.      Bakteri intraseluler
Imunitas spesifik yang dikendalikan sel T, karena dalam infeksi bakteri intraseluler ini yang berperan utama adalah imunitas seluler, contoknya pada bentuk lepramatous reaksi sel T lemah terhadap basilus utuh dan reaksi dermal lepromin lemah meskipun ditemukan banyak sel plasma sehingga didapatkan antibodi dalam jumlah tinggi dan menunjukan aktivitas Th2 (Roitt, 2003)
Kemampuan membunuh mikroba yang hidup intraseluler hanya terjadi bila sel dirangsang pada aktivasi tahap berikutnya oleh faktor yang mengaktifkan makrofag seperti IFNγ yang dihasilkan oleh sel T  penghasil limfokin. Pelepasan limfokin yang terjadi kemudian mengaktifkan marofag dan memberikan kemampuan mematikan organisme yang telah difagositosis.
Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin, agar dapat mengekspresikan satu atau lebih di antara mediator-mediator tersebut untuk mengendalikan infeksi intraseluler.
Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin memegang peran penting dalam mengendalikan atau membunuh patogen intraseluler oleh fagosit, dalam pertahanan dini pejamu.
Makrofag yang telah diaktivasi interferon membunuh Legionella pneumophila, antara lain dengan cara meregulasi ke bawah (downregulate) reseptor transferrin, sehingga menurunkan kemampuan zat besi dalam sel yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Legionella spp. Efek listerisidal juga berkaitan dengan kadar zat besi dalam makrofag.
Defensin, protein yang sudah kodratnya bersifat antimikrobial (natural antimicrobial protein), merupakan peptida kationik kecil dengan aktivitas anti-bakteri luas. Terdapat 2 kelas, α dan β, berperan dalam pertahanan tubuh antara lain dengan cara mematahkan struktur atau fungsi membran sitoplasma mikroba. Biasanya defensin diinduksi oleh sitokin dalam respons terhadap infeksi atau inflamasi, interleukin-1β, interferon-γ, dan TNF-α. Defensin mempunyai aktivitas antimikrobial pada bakteri Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, Candida albicans, jamur serta virus bersampul (Roitt, 2003).

2.      Respon Imun Hewan Terhadap Infeksi Virus
a.  Antibodi menetralkan virus bebas dan terutama efektif bila virus harus bergerak dalam peredaran darah sebelum mencapai sasaran terakhir.
b.   Bila sasaran sama dengan tempat masuknya bakteri, interferon sangat dominan dalam masa penyembuhan.
c.   Antibodi (IgA) sangat penting dalam mencegah terjadinya reinfeksi.
d.   Budding virus dapat mauk ke sel-sel disekitarnya tanpa terpapar antibodi diatasi dengan imunitas seluler. Sel yang terinfeksi menunjukkan antigen peptida yang telah diproses pada permukaan sehubungan dengan MHC kelas I, segera setelah masuknya virus dan kematian yang terjadi segera oleh sel T sitotoksik menghambat multiplikasi virus yang tergantung pada perangkat replikasi dari sel pejamu yang utuh. Sel NK juga bersifat sitotoksik.
e.   Sel T dan makrofag menghasilkan IFN γ dan TNF yang membasahi sel terinfeksi dan mencegah penyebaran virus ke skitarnya (Roitt, 2003).

Mekanisme Penghindaran Bakteri Dan Virus Terhadap Respon Imun Hewan
a.      Bakteri ekstraseluler
1)      Menghindari fagositosis
Dengan membuat kapsul di lapisan luar yang tidak mudah menempel pada sel sel fagosit dan menutupi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang dapat dikenal oleh reseptor fagosit (Roitt,2003).
2)      Menantang sistem komplemen
Pada permukaan bakteri tertentu yang kaya akan asam sialik mempunyai kesempatan untuk mengikat faktor H yang berperan sebagai fokus dalam degradasi C3b oleh faktor I oleh karena itu beberapa menunjukan motif berulang yang berkonsensus pendek yang mirip protein pengikat C4, reseptor komplemen CRI dan faktor yang mempercepat pembusukan dan juga bentuk menyerupai integrin CR3, mungkin karena bakteri menghasilkan enzim seperti C5a yang memegang peran penting dalam inflamasi akut (Roitt,2003).
3)      Deviasi komplemen
Dengan mengalihkan lokasi aktivasi komplemen pada suatu protein samaran atau pada pemukaan bakteri jauh dari membran sel (Roitt,2003).
4)      Resistensi terhadap penyisispan komponen terminal komplemen
Bakteri Gram + mempunyai lapisan tebal petidoglikan untuk mencegah penyisipan oleh kompleks C5b-9 pada membran yang bersifat litik kedalam membran sel bakteri (Roitt, 2003).

b.      Bakteri Intraseluler
Beberapa stein bakteri seperti Listeria dan Brucella menghindarkan diri dari kekuatan sistem imun dengan mengembangkan kehidupan intraseluler didalam salah satu komponen sistem imun yaitu makrofag, yang setelah masuk mampu melumpuhkan mekanisme pembunuhan oleh makrofag.
Mycobacterium tuberculosis menghambat fusi lisosom dengan fakuol fagositik yang mengandung bakteri yang dicerna. Lipida micobacterium seperti liporabinomanna menghambat primming dan aktivasi makrofag dan melindungi bakteri dari serangan unsur oksigen reaktif pembersih seperti anion superoxida, radikal hidroksil, hidrogen peroxida. Listeria monocytogenes  menggunakan lisin khusus untuk menghindar dari fagosom (Roitt, 2003).

c.       Virus
Virus terus menerus merubah antigen permukaanya  melalui antigenic drift antigenic shift. Misalnya saja pada virus infuensa yang permukaan virusnya mengandung hemaglutinin yang melekat pada sel sebelum terjadinya infeksi dan enzim neuroamidase yang melepas viorus yang baru terbentuk dari permukaan asam sialik sel yang terinfeksi. Perubahan kecil dalam antigenesitas hemaglutinin terjadi melaui point mutation dalam genom virus (drift), tetapi perubahan yang besar terjadi melalui pertukaran materi genetik dengan cadangan bermacam virus pada komponen imun yang lain (shift).
Penghambatan induksi melalui komplemen pada reaksi peradangan dan pembunuhan virus dapat berhasil dengan adanya produk virus vaccinia yang strukturnya mirip dengan protein pengikat C4b (Roitt, 2003).

Mekanisme Aktivasi Komplemen
            Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui suatu proses enzimatik yang terjadi secara berantai, berarti produk yang timbul pada satu reaksi akan merupakan enzim untuk reaksi berikutnya (Baratawijaya, 2000). Caranya ialah dengan dilepaskannya sebagian atau mengubah bangunan kompleks protein tersebut (pro enzim) yang tidak aktif  menjadi bentuk aktif (enzim). Satu molekul enzim yang aktif mampu mengakibatkan banyak molekul komplemen berikutnya. Cara kerja semacam ini disebut the one hit theory.
Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c) pengakhiran kerja berantai dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel (mekanisme terakhir ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran).
Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks antigen-antibodi, sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan adanya ikatan antara C3b dengan berbagai zat aktivator seperti dinding sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan memacu terbentuknya jalur serangan membran yang akan mengkibatkan lisisinya dinding sel antigen (Frank, 1991).



Skema Aktivasi Komplemen
Sumber: http://www.inflarx.de/complement.html

Aktivasi komplemen jalur klasik
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.
1.      Regulasi jalur klasik
Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.
2.      Aktivitas C1 inhibitor
Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH (Brown, 1985).
 3.   Penghambatan C3 konvertase
Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa regulator.
a.       C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3 konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini bersama dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan potensi faktor I dalam merusak C4b.
b.      Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentulmya C4b2b (Frank, 1991).

 Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM. 
Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan  dalam plasma (lihat Gambar 5-3 ) .
Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif.
Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.
Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran) (Frank, 1991).

Gambar 2. Hubungan antara aktivasi komplemen melalui jalur klasik dan alternatif.










DAFTAR PUSTAKA

           
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2000. Imunologi Dasar. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Jakarta : Universitas Indonesia

Brown EJ, Joiner KA, Frank MM l985. Fundamental immunology 3rd edition. New York: Raven Press.

Frank MM 1991. Basic and clinical immunology; 7th edition. NorwaIk: Appleton & Lange.

Roitt, Ivan. 2003. Essential Immunology. Oxford: Blacwell Science Limited.



READ MORE - Respon Imun Pada Infeksi Bakterial Dan Viral Share

Mastitis

Selasa, 26 Juli 2011
Learning objective :
1.      Jelaskan agen penyebab dan faktor mastitis?
2.      Jelaskan tentang gejala klinis mastitis?
3.      Jelaskan tentang patogenesis mastitis?
4.      Jelaskan tentang perubahan patologi mastitis?
5.      Jelaskan tentang diagnosa mastitis?

ETIOLOGI MASTITIS
Mastitis berasal dari bahasa Yunani yaitu Matos yang berarti infeksi dan Itis berarti radang. Jadi Mastitis adalah infeksi yang menyebabkan peradangan ambing pada sapi perah. Biasanya penyakit ini berlangsung secara akut, sub akut maupun kronis. Mastitis ditandai dengan peningkatan jumlah sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai perubahan patologis atau kelenjarnya sendiri.Hal tersebut diatas menyebabkan penurunan produksi susu. Perubahan fisis (susu) biasanya meliputi perubahan warna, bau, rasa, dan konsistensi. ( Subronto, 2003)
Salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah adalah Staphylococcus aureus.Mastitis yang disebabkan oleh S. aureus dapat terjadi secara klinis namun seringkali terjadi secara subklinis dan menahun.

Jenis-jenis Mastitis dapat dibagi menjadi :
a.       Menurut Bentuknya
1.      Mastitis catarralisadalah mastitisyang paling ringan. Disini ditemukan radang dan degenerasi dan degenerasi pada parenchym (epitel) saluran-saluran air susu besar.
2.      Mastitis parenchymatosaadalah radang yang meluas hingga asinus pembentuk air susu, jadi hingga parenchym yang mementuk air susu.
3.      Mastistis interstitialis,Radang terutama ditemukan di dalam interstisium (jar.ikat).

b.      Menurut pembagian patologik anatomik mastitis
1.      Mastitis catarrhalis, yakni radang pada saluran susu yang halus.
2.      Mastitis parenchymatosa, radang parenchym pembentuk air susu.
3.      Mastitis Phlegmonosa , dimaa radang ini meluas dalam jaringan ikat. Oleh karena itu dinamakan jg mastitis interstitialias. Terlihat pada perlukaan dan infesi ambing .
4.      Mastitis purulenta (apestomatosa) , disertai pembentukkan abses-abses.
5.      Mastitis necriticans memperlihatkan regresi luar biasa dengan nekrosa kering (necrosa koagulasi)
6.      Mastitis indurativa , dimana kelenjar digantikan oleh jaringan ikat. Sekresi air susu berhenti . ambingnya akan terasa keras, lingkarannya bertambah atau berkurang. Mastitis ini dapat terjadi pada 3 kuartir.
7.      http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:JTYERXrGd2ot3M:http://classes.ansci.illinois.edu/ansc438/mastitis/heifer_mastitis.jpgMastitis specifica disebabkan oleh tuberculosis dan aktimikosis(Ressang,1984)











Penyebab mastitis
a.       Staphylococcus
Staphylococcus  merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus, diameter 1 µm, tidak motil, facultative anaerob, catalase positif, dapat tumbuh pada media yang kurang menguntungkan, dapat menyebabkan infeksi pyogenic.
Habitat staphylococcus,hidup normal pada kulit hewan dan manusia. Mereka sering ditemukan pada membrane mukosa traktus respiratorius dan sedikit di saluran urogenital serta saluran pencernaan.
Staphylococcus aureusmerupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu.
Patogenisitas dan virulensi Staphylococcus sp. ditentukan oleh substansi-substansi yang diproduksi oleh organisme ini antara lain adalah enzim ekstraseluler yang dikenal dengan eksoprotein. Staphylococcusaureus memproduksi eksoprotein yang dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu, kelompok enzim antara lain koagulase, lipase, hialuronidase, stafilokinase (fibrinolisin) dan nuklease serta kelompok eksotoksin misalnya leukosidin, eksfoliatif toksin, enterotoksin dan toxic schock syndrome toxin-1 (TSST-1).
Hemolisin merupakan eksoprotein yang mempunyai aktivitas baik enzimatis maupuntoksin sehingga tidak termasuk dalam klasifikasi ini (Williams et al., 2000). Sitolitiktoksin yang dihasilkan oleh S. aureus adalah α, β, δ, dan γ-hemolisin. Eksoprotein enzimatis ini kemungkinan mempunyai fungsi utama dalam menyokong nutrisi untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan eksotoksin berperan dalammenimbulkan berbagai penyakit.

b.      Streptococcus
Streptococcus agalactiaetermasuk dalam genus Streptococcus golongan B. Bakteri ini merupakan bakteri Gram positif.Streptococcus agalactiae merupakan sebagian dari flora normal pada vagina dan mulut wanita pada 5-25 %.Bakteri ini secara khas merupakan βhemolitik dan membentuk daerah hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloni (bergaris tengah 1-2 mm).Streptococcus golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respons positif pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), peka terhadap basitrasin.
Streptococcus agalactiae mampu bertahan pada inang dalam temperature tinggi, tergantung dari kemampuannya untuk melawan fagositosis.Isolat dari Streptococcus agalactiae memproduksi kapsul polisakarida.Kapsul polisakarida tersebut tersusun atas galaktosa dan glukosa, berkombinasi dengan 2-acetamido-2-deoxyglucose, N-acetylglucosamine dan pada ujungnya terdapat asam sialik, yang memberikan muatan negatif.Kapsul polisakarida tersebut merupakan faktor virulensi yang penting.Kapsul-kapsul tersebut menghalangi fagositosis dan sebagai komplemen saat tidak ada antibodi.Hasil selanjutnya dihilangkan bersama dengan pengeluaran residu asam sialik, dan kekurangan serum antibodi untuk melengkapi antigen tidaklahopsonik. Meskipun infeksi/penyerangan bisa saja dihubungkan dengan semuaserotype, namun golongan dengan kapsul serotype III mendominasi isolat dariinfeksi neonatal (Carter,2004 ; Quinn,2002)

GEJALA MASTITIS
Sapi yang terinfeksi mastitis biasanya mengalami depresi, mata cekung, ambing bengkak, ambing keras, ambing panas (<36o). Suhu rectal tinggi dan sangat sensitif apabila tersentuh.
Tingkatan Mastitis
a. Sub Klinis
Pada kondisi sub klinis tidak bisa di lihat dengan mata dan hanya bisa di lihat dengan CMT dan angka konduktifiti yang tinggi pada defecer (7 – 9). Dalam CMT susu yang terinfeksi berbakteri akan membentuk gel (+1, +2, +3), pada kondisi ini bisa terjadi kesembuhan bila anti body sapi mampu melawan bakteri atau sebaliknya.

b. Klinis (Mastitis)
Pada kondisi Klinis bisa di lihat dengan cara perabaan pada ambing dan strecping di mana susu yang didapatkan tidak normal. Macam-macam kondisi klinis antara lain :
 T1 ciri-cirinya
Ø terdapat gumpalan kecil-kecil pada susu.
 T2 ciri-cirinya terdapat gumpalan
Ø yang lebih besar pada susu.
 T3 ciri-cirinya terdapat gumpalan yang lebih
Ø besar dari T1 dan T2
 Chung ciri-cirinya susu sudah berubah menjadi
Ø nanah
 Watery ciri-cirinya bila di streeping susu sudah tidak keluar
Ø melainkan hanya air yang keluar dari susu.
 Blood ciri-cirinya bila di
Ø streeping keluar darah
Semua tingkatan Mastitis (Sub Klinis, T1, T2, T3, Chung, Watery, Blood) biasanya disertai dengan ambing panas, atau keras.
Akut
Radang(bengkak), panas dalam rabaan, rasa sakit, warna yang kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu jadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Konsistensi air susu jadi lebih encer dan warna nya juga jadi agak kebiruan atau putih yang pucat. Kadang proses akit berlansung dengan cepat dan hebat. Tanda-tanda lain yang ditemukan adalah anoreksia, kelesuan, toksemia, dan sering disertai dengan kenaikan suhu tubuh. Keadaa akut yang berlansung setelah kelahiran mirip dengan gejala milk fever. Karena rasa sakit yang diderita kalau berjalan mungkin akan tamapk seperti pincang (Subronto,2003).
Subakut
Ditandai dengan gejala sama ssperti akut tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hewan masih mau makan dan suhu tubuhnya masih dalam batas normal.Perubahan radang dari ambing kadang samar-samar tetapi air susunya jelas mengalami perubahan.Pada inspeksi dari samping dan belakang, ambing tampak asimetris.Kebengkakan atau lesi pada puting biasanya ditemukan radang. Radang ganrenous akan menampakkan warna merah atau biru lebam. Bila ambing di palpasi ditemukan perubahan berupa jaringan mengeras dengan permukaan yang bervariasi.Pada radang yang sudah melanjut ke jaringan ikat yang terdapat pada suatu kuartir secara keseluruhan sehingga kuartir tersebut tidak dapat berfungsi. Kuartir tersebut digunakan bakteri untuk berkoloni yang pada suatu saat dapat menginfeksi kuartir lain(Subronto,2003).
Kronik
Infeksi berlansung dalam waktu yang lama pada suatu periode laktasi ke periode berikutnya.Pada infeksi kronik berakhir dengan atrofi kelenjar. Ambing yang mengalami gangren yang tampak perubahan seperti ambing terasa dingin, air susu lebih encer kadang bercampur darah dan warna kulit ambing biru lebam. Hewan tidak sanggup berdiri lagi, ambruk dan dapat mati dalam beberapa hari (Subronto,2003)
Dampak Mastitis
Karena Mastitis menyerang pada kelenjar susu dan ambing maka susu yang dihasilkan akan rusak. Infeksi dan peradangan pada ambing menyebabkan sapi mengalami depresi, penurunan nafsu makan dan kenaikan suhu tubuh sehingga dapat mempengaruhi metabolisme. Pada kondisi ini sapi bisa saja ambruk atau mati.

PATOGENESIS MASTITIS
Patogenesis mastitis dibagi menjadi beberapa fase, yaitu: infiltrasi, infeksi, infasi
1.      Fase Infasi
Masuknya organisme ke dalam puting. Kebanyakan terjadi karena terbukanya lubang saluran putting, terutama setelah diperah. Infasi ini dipermudah dengan adanya lingkungan yang jelek, populasi terlalu tinggi, adanya lesi pada putting susu atau karena daya tahan sapi menurun.
2.      FaseInfeksi
Terjadinya pembentukan koloni oleh mikroorganisme yang dalam waktu singkat menyebar ke lobuli da
n alveoli.
3.      Fase Infiltrasi
Ditandai saat mikroorganisme sampai ke mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasi leukosit dan terjadi radang. Adanya radang menyebabkan sel darah dicurahkan ke dalam susu, sehingga sifat fisik seta susunan susu mengalami perubahan.

Dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting.Kadang-kadang terjadi secara limfogen dan hematogen.Secara akademik, proses radang dapat dibedakan menjadi beberapa fase, yaitu fase invasi, infeksi dan infiltrasi.Fase invasi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam puting.Tidak jarang mikroorganisme patogen sudah lama berada di bagian bawah puting. Kebanyakan proses invasi terjadi karena terbukanya lubang saluran puting, terutama sesudah pemerahan. Invasi  yang terjadi pada masa kering tidak menyebabkan radang akut, proses kebanyakan berlansung secara sub klinis yang pada suatu saat biasanya sesudah waktu kelahiran berubah menjadi radang subakut, akut atau perakut. Invasi dipermudah oleh keadaan lingkungan yang jelek, populasi kuman patogen yang tinggi, adanya lesi pada puting atau bila daya tahan sapi baru menurun misalnya sehabis sakit, tranportasi atau stress yang lain. (Blood, 1983). Setelah mikroorganisme berhasil masuk ke dalam kelenjar, mikroorganisme akan membentuk koloni yang dalam waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme sampai di mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit. Mobilisasi sel darah dipermudah kalau diingat bahwa kelenjar susu dialiri darah yang relatif sangat besar untuk tiap satuan waktu. Untuk sapi seberat 100 pound, darah sebanyak 200 pound dialirkan ke dalam kelenjar tiap jamnya.(Schalm, 1971). Kuman Streptococcus agalactiae merupakan kuman yang untuk hidupnya memerlukan kelenjar susu. Oleh kerjaan kuman akan terjadi perubahan air susu yang ada di dalam sinus hingga air susu di dalam nya jadi rusak. Selanjutnya, rusaknya air susu akan meransang timbulnya reaksi jaringan dalam bentuk peningkatan sel di dalam air susu. Oleh jonjot fibrin yang terbentuk akhirnya saluran jadi tersumbat dan kelenjar akhirnya mengalami kerusakan jaringan. (Subronto, 2003)


Pada putting,terdapat mekanisme pertahanan untuk mencegah masuknya bakteri ke dalam ambing. Ada sfinkter yang tersusun oleh otot polos mengelilingi kanal fungsinya utuk menjaga agar kanal tetap tertutup mencegah suu keluar dan bakteri agar tidak masuk ke puting.Lapisan sel yang melapisi puting menghasilkan zat keratin sebgai komponen bakteriostatic. Keratin ini membentuk barier melawan bakteri (Jones,1998).
Respon peradangan diinisiasi ketika bakteri memasuki glndula mammae. Bakteri kemudian bermultiplikasi dan memproduksi toksin,enzim, dan komponen dinding sel sehingga menstimuli adanya sel-sel radang untuk menuju ke tempat bakteri berada (Jones,1998). Tingkat reaksi radang yang terjadi berbeda, tergantung bakteri patogennya, fase laktasi, umur, status imun dari sapi, genetic, dan keadaan nutrisi sapi.
Polimorfonuklear netrofil dan macrofag dari bone marrow menuju ke tempat invasi bakteri dan bereaksi dalam jumlah yang besar karena adanya kemotaktik factor dari jaringan yang rusak. Banyaknya leukosit PMN menembus sel-sel penghasil susu menuju lumen meyebabkan bertambahnya jumlah sel somatic, karena terjadi keruskan pada sel sekretori. Somatik sel juga mengandung PMN (Jones,1998).
Bakteri Streptococcus agalactiae,menyebabkan inflamasi dengan menyumbat duktus ,sehingga menurunkan jumlah produksi susu dan meningkatkan jumlah sel somatic (Anonim:2009).Bakteri Staphilococcus aureus memproduksi berbagai enzim/toksin (catalase,coagulase),memproduksi hyaluronidase sehingga bakteri dapat menginvasi ke dalam jaringan, enzim ini berguna untuk mencegah bakteri lepas dari epithelium, selain itu bakteri ini menghasilkan Protein A di permukaan  tubuhnya sehingga mencegah bakteri tersebut untuk difagosi oleh macrofag. Staphilococcus aureus resisten terhadap system imun dengan menghasilkan teichuronic acid (Anonim,2011) 

PERUBAHAN PATOLOGI MASTITIS
1.      Perubahan Makroskopik
Pada mastitis akut ambing tampak membengkak, dan kemerahan. Sedangkan pada mastitis kronis ambing atropi, nekrosis warna biru kehitaman, krepitasi, ambing menjadi tebal, keras, nodular, atropi dan terdapat bintik darah dan pus pada sinus laktiferus.
2.      Perubahan Mikroskopik
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang 1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitian pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi involusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persembuhan berupa pembentukan jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing.
Sedangkan pada mastitis klinis perubahan histopatologinya sebagai berikut:
a.       Degenerasi sel parenkim di saluran air susu (pengelupasan dan regresi sel epitel)
b.      Dalam interstitium pembuluh darah dipenuhi oleh eritrosit
c.       Leukosit polimorfonukleat di lumen alveoli
d.      Di lumen terjadi penimbunna sel radang
e.       Pada kasus yang lebih lanjut, terdapat eksudat, dan hanya sedikit sel radang di lumen
f.       Terdapat abses, di sekitar abses ada jaringan ikat yang mengganti sel-sel parenkim, adanya jaringan ikat ini menyebabkan atropi di ambing dan ambing teraba keras (Ressang,1984).

DIAGNOSA MASTITIS
1.      Standard Plate Count (SPC)
Tes ini digunakan untuk memperkirakan adanya populasi bakteri dalam susu mentah dan produksi susu adalah metode refernsi resmi untuk menspesifikasi ordonansi susu terpasteurisasi Grade A. Grade A menunjukkan SPC <100,000 cfu/ml, Grade B menunjukkan SPC < 300,000 cfu/ml. SPC yang tinggi mengindikasikan masalah kualitas susu yang biasanya disebabkan oleh kesalahn pendinginan peralatan kebersihan susu.
2.      Laboratory Pasteurized Count (LPC)
Tes ini digunakan apabila hasil SPC tinggi. LPC adalah hasil yang ditampakkan pada SPC yang telah dipanaskan sampai 145ºF (62,8º C) dan berlangsung selama 30 menit (suhu rendah-lama pasteurizasi). LPC berfungsi untuk mengetahui bakteri yang tahan terhadap suhu pasteurisasi (bakteri termoduric).Tingginya LPC dihubungkan dengan peralatan yang kurang bersih, penanganan sanitasi yang kurang baik, dan deposit milkstone.Mastitis tipikal menyebabkan organisme tidak tahan terhadap pasteurisasi. Bakteri termoduric antara lain Micrococcus, Microbacterium, Lactobacillus, Bacillus, Clostridium and occasional Streptococci (Reugg,2002)
TES MASTITIS (Somatic Cell Counts)
1.      California Mastitis Test
Merupakan satu-satunya screening test untuk mastitis subklinis yang bisa digunakan di luar tubuh sapi. Susu segar yang belum direferigator bisa di tes menggunakan CMT sampai 12 jam., pembacaan yang nyata bisa dilakukan sampai 36 jam. Jika susu disimpan, sampel susu harus dicampur dengan baik untuk pengujian karena sel somatic bisa terjadi gumpalan dengan lemak susu. Reaksi CMT harus dinilai selama 15 detik pencampuran karena reaksi lemah akan menghilang setelah itu. Reagen CMT adalah detergen plus bromcresol purple (sebagai indicator pH). Derajat rekasi antar detergen dan nucleus sel DNA adalah pengukuran dari jumlah sel somatic di susu (Ruegg, 2002)
Cara melakukan uji ini adalah kedalam empat telapa dimasukkan air susu curahan kira-kira 2ml setiap telapa.untuk menyamakan jumlahya bias dilakukan dengan memiringkan telapa.setelah itu seiap telapa ditambah reagen. Reagen terdirri dari alkyl aryl sulfonate 3%, NaOH 1,5%, dan indicator Broom kresol purple, dengan eneran terakhir 1:10.000. jumlahnya tidak boleh kurang dari air susu dalam telapa.setelah reagen ditambahkan, telapa dan isinya diputar horizontal dan perlahan selama 10-15 detik.reaksi diamati (Subronto,2003).






Daftar Pustaka
Anonim.2011. http://classes.ansci.uiuc.edu/ansc438/Mastitis.html. Tanggal akses 19/04/2011.
Anonim.2011. http://www.uwex.edu/milkquality/PDF/045cmt_factsheet.pdf Tanggal akses 19/04/2011.
Jones, G.M. 1998. Understanding the asic of Mastitis.(http://www.ext.vt.edu/pubs/ dairy/404-233).Diakses pada tanggal 18 April 2011.
Quinn, P.J. 2002.Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science
Ressang, Abdul Aziz. 1984. Patologi Khusus Veteriner. IPB Press: Bogor
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak I. UGM Press: Yogyakarta
READ MORE - Mastitis Share

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)/ FMD (Foot and Mouth Disease) dan Jembrana Disease

Senin, 25 Juli 2011


Learning Objective:
1.      Bagaimana penyebab, karakteristik dan patogenesis PMK?
2.      Bagaimana penyebab, karakteristik dan patogenesis penyakit jembrana ?

Pembahasan:
1.      Bagaimana penyebab, karakteristik dan patogenesis PMK?
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)/ FMD (Foot and Mouth Disease)/ Aphtous Fever/  Epizootic Aphtae, Infectious aphtous stomatitis = aftosa
Etiologi
Genus dari Aphthovirus menyebabkan penyakit mulut dan kuku (PMK). Terdapat tujuh serotype dari virus PMK yang telah diidentifikasi melaui uji serologi dan perlindungan-silang; virus itu dinyatakan dengan O (Oise) dan A (Allemagne); C (sebagai antisispasi bahwa O dan A mungkin akan dinamai kembali untuk memungkinkan persamaan tipe selanjutnya A, B, C, dst); SAT1, SAT2, SAT3(South African territories) dan Asia1. Secara historis tiap tipe sudah dibedakan lagi menjadi subtipe berdasarkan beda kualitatif. Keragaman antigenik ini disebut heterogenitas antigen. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam penggunaan vaksin, karena vaksin spesifik pada serotipe tapi tidak pada subtipe. Di Indonesia pernah terjadi wabah PMK akibat adanya tipe O11 (Fenner F.J. et. al.,2011).
Karakteristik :
-     Virus famili Picornaviridae, genus Aphtovirus
-     Virion picornavirus : ikosahedron, tidak beramplop, diameter 25-30 nm; ssRNA; sintesa di sitoplasma
-     Aphtovirus tidak stabil pada ph 7,0
-     Menyerang hewan ungulata (berkuku belah)/ teracak à sapi, domba, kerbau,  kambing, babi, ruminan liar
-     diselubungi oleh protein, sangat labil
-     antigenisitasnya cepat dan mudah berubah
-     tidak tahan pH asam dan basa, panas, sinar UV, desinfektans, karena terdapat protein virus PMK tahan berbulan-bulan terhadap kekeringan dan dingin
-     stabil pada pH 3,0, tahan pada asam lambung, tahan terhadap empedu.
-     Suhu optimal 36-37 derajat celcius
-     habitat alami: traktus gastrointestinalis
Untuk Aphtovirus bersifat: non stabil dibawah pH 7, memiliki asam polisitidilat, peka terhadap sodium carbonat.
-     Ketahanan Aphtovirus hidup dalam ekskreta sapi, misalnya pada: saliva (11 hari), semen (10 hari),  darah (5 hari), urine (5 hari), feses (5 hari), susu (5 hari), dan aerosol (5 hari).
Virion Aphtovirus








-     Aphtovirus, 7 tipe : A (Allemagne), O (Oise), C, SAT (South African territories) 1, SAT 2, SAT 3, Asia                                                                           (Fenner, 2011; Quinn, 2002)
-     Tidak membentuk inclusion bodies.
-     Dapat diperbanyak dalam biakan sel-sel (epitel lidah sapi, sel-sel ginjal sapi, hamster, dan babi), sel-sel kelenjar perisai sapi dan menimbulkan kematian sel.                                        (Ressang, 1984)
-      Keluarga Picornaviridae dikelompokkan dalam 5 genus yaitu : Enterovirus , Cardiovirus , Rhinovirus , Aphthovirus dan Hepatovirus .
-      Perbedaan dari kelima genus dalam fisikokimianya ialah stabilitas pada PH rendah :
Ø  Aphthovirus : tidak stabil pada PH dibawah 7
Ø  -  Enterovirus, Cardiovirus , Hepatovirus : stabil pada PH 3
Ø  - Rhinovirus : kehilangan aktivitas dibawah PH 5
( Fenner.2011 dan Subronto.2003)
Patogenesis
Terdapat dua rute infeksi, yaitu:
a.       Primer
§  Melalui inhalasi: aerosol dari hewan yang terinfeksi akan terhirup oleh hewan yang peka → partikel virus akan masuk ke dalam faring → kemudian virus berplikasi dalam epitel faring → setelah 24-72 jam berikutnya akan terjadi viremia → terjadi kenaikan suhu tubuh → hewan akan mengalami demam → akhirnya demam akan turun → fase viremia berakhir → terjadi lepuh-lepuh pada lidah/ gingiva sapi.
b.      Sekunder
§  Melalui makanan yang tercemar, vaksinasi yang tercemar dan inseminasi yang tercemar.
-        Virus dapat bertahan hidup dalam faring selama 2 tahun (sapi) dan 6 bulan (kambing dan domba).
Selain itu Penularan lainnya adalah :
1. Kontak dengan hewan yang sakit baik melalui sekresi ataupun ekskresi.
2. Dapat ditularkan melalui produk asal ternak seperti air susu dan daging.
3. Penularan dapat juga terjadi akibat lalu lintas barang/bahan yang tercemar virus PMK seperti sepatu, kendaraan dan pakaian.
4. Melalui angin dapat menularkan penyakit ke kawasan yang luas.
Jalur utama infeksi pada ruminansia adalah melalui penghirupan (secara aerosol) tetapi konsumsi pakan yang terinfeksi, inokulasi dengan vaksin yang tercemar, inseminasi dengan semen yang tercemar dan kontak dengan peralatan ternak yang tercemar semuanya dapat menimbulkan infeksi. Pada hewan yang terinfeksi melalui saluran pernafasan, replikasi awal virus berlangsung pada faring, diikuti oleh viremia yang menyebar ke jaringan dan organ yang lain sebelum mulainya penyakit klinis. Pengeluaran virus mulai sekitar 24 jam sebelum mulainya penyakit klinis dan berlangsung selama beberapa hari. Virus PMK dapat tinggal dalam faring beberapa jenis hewan sampai beberapa lama setelah sembuh. Pada sapi virus dapat dideteksi sampai 2 tahun setelah terinfeksi, pada domba sampai sekitar 6 bulan. Kemenetapan virus tidak terjadi pada babi. Uap air yang dikeluarkan oleh hewan yang terinfeksi mengandung sejumlah besar virus, khusunya yang dihasilkan oleh babi. Sejumlah besar virus juga dikeluarkan dalam susu(Fenner, 2011)
Virus PMK dapat tinggal dalam farings beberapa jenis hewan sampai beberapa lama setelah sembuh. Pada sapi, virus dapat dideteksi sampai dua tahun setelah terinfeksi, pada domba sekitar 6 bulan. Namun pada domba tidak terjadi kemenetapan virus.
            Virus bersifat stabil dalam lingkungan terbuka untuk jangka waktu yang lama, yang kemudian disebarkan secara aerosol, terutama  bila kelembaban udara melebihi 70% dan suhu udara yang dingin. Virus bersifat peka terhadap alkali maupun asam
            Penyakit ini dibagi menjadi 3 macam bentuk : bentuk dermostomatitis yang tenang (benigna), bentuk interrmediate toxic dengan penyakit yang lebih berat, dan bentuk ganas (malignant) dengan perubahan pada otot janung dan sklelet.(Subronto, 2003)
Meskipun infeksi biasanya terjadi melalui inhalasi, virus dapat masuk ke jaringan melalui ingesti, inseminasi dan inokulasi dan melalui kontak dengan kulit luka yang terbuka. Replikasi virus utama, setelah inhalasi berada di mukosa dan jaringan limfatik di faring. Viremia terjadi pada multiplikasi utama dengan replikasi virus lebih lanjut pada nodus limpatikus, glandula mamae, dan organ lain seperti sel epithelial pada mulut, moncong, putting susu, celah interdigitalis dan coronary band. Pada daerah tersebut pembentukan vesikula dihasilkan dari bengkak dan rupturnya keratinosit pada stratum spinosum (Quinn,2002).
Perubahan histopatologi yang dapat diamati adalah adanya edema inter dan intraseluler pada sratum spinosum. Namun, jika vesikula sudah pecah, maka semua penyakit vesikuler memiliki gambaran mikroskopi yang mirip sehingga tidak memungkinkan untuk mendiagnosa penyakit PMK hanya bedasarkan gambaran mikroskopi. Virus PMK tidak membentuk viral inclusion bodys (Ressang,1984).
Perubahan patologis yang terjadi adalah pembantukan lepuh dan kadang terdapat radang kataral dari mulut, tekak, dan saluran udara. Lepuh dan ulser mungkin terbentuk di dalam pangkal tekak, kerongkongan, rumen, reticulum, omasum, usus, dan bronchi,. Dalam keadaan yang lebih berat, dapat terjadi gastroenteritis yang disertai perdarahan kecil dan ulserasi. Kelenjar limferegional dan limpa juga dapat mengalami pembesaran, di sampning perdarahan pada otot jantung jantung. Perubahan histologik di dalam jantung meliputi degenerasi serabut otot serta adanya infiltrasi sel kecil bulat pada jaringan interstisial ( Subronto,2003).
Pada saat vesikel terbentuk epitel di atasnya mengalami nekrosis dan vesikel kemudian pecah dalam waktu lebih kurang 24 jam. Virus dapat ditemukan di ambing kira-kira 2-4 hari setelah inokulasi. Virus tersebut dapat ditemukan dalam sel-sel yang menghasilkan susu. Ada 4 cara pembebasan virus dari sel yang tertular yaitu, pembebasan virus ke dalam vesikel yang berdinding, pembebasan ikatan dengan kasein dalam lumen, pembebasan dengan butir-butir lemak, dan pembebasan melalui pelarutan dari sel-sel yang tertular (Subronto, 2003).
2.      Bagaimana penyebab, karakteristik dan patogenesis jembrana ?
Etiologi
Penyakit jembrana adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh Retrovirus, termasuk dalam famili retroviridae. Penyakit ini umumnya diderita oleh sapi bali, walaupun sapi lain juga bisa, akan tetapi gejala ringan. Setelah melalui penelitian yang sangat panjang dan intensif pada tahun 1987 telah dapat diisolasi virus penyebab jembrana dari plasma atau serum sapi yang sedang demam. Virus yang ada  didalam darah hewan demam dapat secara bebas ditemukan diluar sel darah dalam jumlah yang sangat banyak. Ukuran virus 80-120 nm, mempunyai enzyme revase transcriptase, berkembang biak dalam sel dan keluar sel memalui proses budding mirip virus lenti tipe C dapat dihancurkan dengan ether , mempunyai 4 jenis protein yang utama : P26, P16, P100 dan grup P38, 42-45. Virus penyebab penyakit jembrana ini satu kelompok dengan virus HIV penyebab AIDS pada manusia. Dan virus jembrana merupakan virus yang menyebabkan immunodeficiency pada hewan khususnya sapi bali.
Gejala klinis dari penyakit ini adalah kenaikan suhu, berkisar antara 39°C-42°C. Pada suhu diatas 40°C dapat berlangsung selama 3 – 5 hari, dan kemudian akan diikuti penurunan suhu, namun pada derajat subnormal sapi akan mati. Terjadi pembengkakan kelenjar limfe, diare dengan tinja atau feses lembek, profus sampai tercampur darah. Terjadi erosi ringan sampai nekrosis terbatas epitel selaput lendir mulut. Dan pada sapi betina yang sedang bunting diatas 6 bulan akan mengalami keguguran. Terlihat juga gejala keringat darah, perdarahan pada mata, anoreksia, lesu, pernapasan dan detak nadi cepat, leucopenia disertai dengan leukositosis (Subronto, 2003).
Perubahan patologi secara makroskopik dari penyakit jembrana yaitu adanya perdarahan secara umum seperti pada jaringan otot skelet, epikardium, endocardium, membran serosa dan mukosa, serta adanya kebengkaan pada sistem limfoid.
Untuk perubahan patologi secara mikroskopik adalah adanya proliferasi sel-sel limforetikuler dan sistem limfohematopoietik  serta adanya infiltrasi limfositik  pada pulmo, adrenal, ginjal, plexus choroideus.  Adanya leucostasis intravascular oleh makrofag pada pulmo dan jaringan lain.  Dan tidak mengenai sistem syaraf pusat.  Imunosupresi dapat dilihat adanya atropi folikuler dengan menurunnya sel-sel yang mengandung IgG pada organ-organ limfoid dan menurunnya ratio sel-sel T CD4 dan CD8  di dalam folikel nodus limfatikus.
Identifikasi :
-     Penyakit jembrana (JD) adalah penyakit menular akut pada sapi Bali yang disebabkan oleh Retrovirus, keluarga lentivirinae yang termasuk dalam famili retroviridae (Anonim, 2008)
-     Virus yang ada  didalam darah hewan demam dapat secara bebas ditemukan diluar sel darah dalam jumlah yang sangat banyak
-     Ukuran virus 80-120 nm, mempunyai enzyme reverse transcriptase, berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding mirip virus lenti tipe C dapat dihancurkan dengan ether, mempunyai 4 jenis protein yang utama : P26, P16, P100 dan grup P38, 42-45
-     Merupakan virus yang menyebabkan immunodeficiency pada hewan khususnya sapi bali (Subronto, 2003)
-     Memiliki 3 gen utama yaitu
·         Gen Gag mengkode protein capsid dan matrik
·         Gen Pol mengkode ensim reverse transkritase (polimerase)
·         Gen Env mengkode  peplomer amplop
-     Gen asesori :
·         Gen tat : aksi trans activator sehingga transkripsi lebih efisien dan mencegah terminasi transkripsi prematur
·         Gen rev : protein yang telibat dalam splicing dan transkripsi RNA viral, membuat m RNA translasi penuh
·         Gen nef  : sangat esensial untuk replikasi di makrofag
·         Gen vif  : protein untuk infektivitas viral

Pathogenesis
-          Produk yang terkontaminasi darah penderita.
-          Penggunaan jarum suntik dan serangga penghisap darah.
-          Kontak langsung dalam satu kandang. Kontak langsung tersebut terkait dengan sekreta, saliva, urin, air susu induk,  dan dapat juga melalui semen ketika kawin alam, atau pada waktu AI.
-          Penyakit jembrana (JD) hanya menyerang sapi Bali, sebegitu jauh penyakit jembrana tidak ditemui pada rumpun sapi yang lain. Sapi yang terserang berumur lebih dari 1 tahun dan yang terbanyak 4-6 tahun dan jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian penyakit ini
-          Sumber Infeksi: sampai saat ini belum diketahui dengan pasti sumber infeksi dari penyakit jembrana ini
-          Peranan vector : lewat penyakit insect born, contoh : Culicoides sp dan nyamuk
Daftar Pustaka

Fenner, F.J., Gibbs, E.P.J., Murphy, F.A., Rott, R., Studdert, M.J., and White, D.O., 1995, Virologi Veteriner, Edisi Kedua, Academic Press Inc, California.
  Ressang, A.A. 1984.Patologi Khusus Vetriner. Bali Cattle Desase Investigation Unit : Denpasar, Bali
Subronto, 2003, Ilmu Penyakit Ternak I, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Quinn, dkk. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. USA : Blackwell Science


READ MORE - Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)/ FMD (Foot and Mouth Disease) dan Jembrana Disease Share